Friday 14 December 2012

Hadits Syadz dan Hadits Munkar


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang
            Ilmu hadits adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak. Sebagai diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits sesuai dengan fungsinya dalam menetapkan syariat Islam. Ada hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhoif. Masing-masing memiliki persyaratannya sendiri-sendiri. Persyaratan itu ada yang berkaitan dengan persambungan sanad, kualitas para periwayat yang dilalui hadits, dan ada pula yang berkaitan dengan kandungan hadits itu sendiri.

            Hadits dha’if ialah hadits hadits yang  tidak mencukupi sifat  hasan kerana ketiadaan salah satu syaratnya. Tahap   kedha`ifan   hadits   berbeda  mengikut   tahap   berat   dan   ringan   kelemahan   para perawi  sebagaimana hadis shahih berbeda-beda.  Antaranya  dha`if,  dha`if   jiddan,  wahi,  munkar dan yang paling jelek ialah maudhu`. Banyaknya jenis hadits dha’if melatarbelakangi penulis untuk secara khusus membahas tentang jenis hadits dha’if  yakni hadits syadz dan hadits munkar . Oleh sebab  itulah penulis menulis makalah dengan judul “ Hadits Syadz dan Hadits Munkar Berserta Perbedaannya”.

1.2       Rumusan Masalah
            1.     Apakah definisi dari hadits syadz?
            2.     Apakah definisi dari hadits munkar?
            3.     Apakah perbedaan dari hadits syadz dan hadits munkar?
           
1.3       Tujuan Penulisan
            1.     Mengetahui definisi dari hadits syadz?
            2.     Mengetahui definisi dari hadits munkar?
            3.     Mengetahui contoh dan perbedaan dari hadits syadz dan hadits munkar?
           

 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Hadits Dha’if
            Secara bahasa dha’if  berarti lemah lawan dari  al-qawiyy  (yang kuat). Sedangkan secara istilah hadits yang  tidak mencukupi sifat  hasan karena ketiadaan salah satu syaratnya. Tahap   kedha`ifan   hadis   berbeda  mengikut   tahap   berat   dan   ringan   kelemahan   para perawi  sebagaimana hadis sahih berbeda-beda.  Antaranya  dha`if,  dha`if   jiddan,  wahi,  munkar dan yang paling jelek ialah maudhu`.

2.2       Definisi Hadits Syadz
            Kata syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”.  Menurut mayoritas ulama, kata syadz bermakna : “yang menyendiri”. Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit.
            Imam Asy-Syafi’iy berkata bahwa hadits syadz bukanlah hadits dimana perawi tsiqat meriwayatkan hadits yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain. Yang dimaksud hadits syadz adalah bila diantara sekian perawi yang tsiqat ada diantara mereka yang menimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelah Imam Asy-Syafi’iy sepakat bahwa hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
            Oleh karena itu kriteria syadz  adalah tafarrud (kesendirian perawinya) dan mukhalafah (penyimpangan). Seandainya ada seorang perawi yang berkualitas tsiqat melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits tanpa menyimpang dari yang lainnya, maka haditsnya shahih, bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena kelebihan kualitas hafalan atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria terjih lainnya, maka yang rajah disebut mahfudz, sedang yang marjuh disebut syadz.

                                                            (Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, 2003)

2.3       Definisi Hadits Munkar
            Apabila sebab kecacatan perawi adalah karena banyaknya kesalahan, sering lupa, atau kefasiqan, maka hadistnya dinamakan hadits Munkar. Munkar menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata al-inkaar, lawan dari kata al-iqraar.
Adapaun hadits munkar menurut istilah, para ulama mendefiniskannya dengan dua pengertian berikut ini :
Pertama : yaitu sebuah hadits dengan perawi tunggal yang banyak kesalahan atau kelalaiannya, atau nampak kefasiqannya atau lemah ke-tsiqahannya.
Kedua : yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah dan bertentangan dengan riwayat perawi yang tsiqah.

     ( Mahmud Thahhaan)
           
            Dalam kitab Ushul Al-hadits, hadits munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if (lemah) yang berbeda dengan perawi-perawi  (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi dha’if  melakukan penyendirian dalam meriwayatkan suatu hadits, tanpa menyimpang dari perawi-perawi (lain) yang tsiqat, maka haditnya tidak munkar, tetapi dha’if. Bila haditsnya ditentang dengan adanya hadits dari perawi tsiqat, maka yang rajih disebut ma’ruf sedang yang marjuh itulah yang disebut munkar.
                                                                             (Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, 2003)

2.4       Perbedaan Hadits Syadz dan Munkar
 Syadz adalah hadits yang diriwayatkan perawi yang maqbul yang bertentangan hadits yang diriwayatkan perawi yang lebih utama darinya. Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah.



 
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1       Contoh Hadits Syadz
Contoh Syadz yang Terjadi dalam Sanad
        Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah; dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari Amr bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu ‘Abbas
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meninggal di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan ia tidak meninggalkan ahli waris kecuali bekas budaknya yang ia merdekakan. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan semua harta warisannya kepada bekas budaknya”.
        Imam Tirmidzi, An-Nasa’I, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad mereka dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Amr bin Dinar, dari Ausajah, dari Ibnu ‘Abbas, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki meninggal…”. Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah, karena ia meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Amr bin Dinar dari Ausajah tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas.
        Masing-masing dari Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Juraij, dan Hammad bin Yazid adalah perawi yang terpercaya. Namun Hammad bin Yazid menyelisihi Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu Juraij, karena ia meriwayatkan hadits di atas secara mursal (tanpa menyebutkan shahabat Ibnu ‘Abbas). Sedangkan keduanya meriwayatkannya secara bersambung dengan menyebutkan perawi shahabat. Oleh karena keduanya lebih banyak jumlahnya, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dan Ibnu ‘Uyainah dinamakan Hadits Mahfudh. Sedangkan hadits Hammad bin Yazid dinamakan Hadits Syadz.

Contoh Syadz pada Matan
        Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi; dari hadits Abdul Wahid bin Ziyad, dari Al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah secara marfu’ : “Jika salah seorang di antara kalian selesai shalat sunnah fajar, maka hendaklah ia berbaring di atas badannya yang kanan”. Imam Al-Baihaqi berkata,”Abdul Wahid menyelisihi banyak perawi dalam hadits ini. Karena mereka meriwayatkan hadits tersebut dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, bukan dari sabda beliau. Berarti Abdul-Wahid menyendiri dengan lafadh tersebut dari para perawi yang terpercaya dari teman-teman Al-A’masy”. Maka hadits yang diriwayatkan dari jalur Abdul-Wahid (ia adalah seorang perawi yang terpercaya) adalah hadits Syadz. Sedangkan yang diriwayatkan dari para perawi terpercaya yang lain dinamakan hadits Mahfudh.

3.2       Contoh Hadits Munkar
Telah terbesit dalam hati Musa keraguan, apakah (daya ingat) Allah itu tertidur? Maka, Allah mengutus malaikat kepadanya seraya tidak menidurkannya tiga hari sambil memberikan padanya dua buah botol, masing-masing dipegang pada tangannya dan memerintahkan untuk menjaganya. Kemudian ia tertidur, nyaris kedua tangannya berbenturan. Ia pun terbangun dan menjauhkan kembali jarak kedua tangannya yang mengakibatkan kedua botol itu pecah. Beliau shallallahu alaihi wassallam bersabda,’ Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pentamsilan kepada Musa, bahwa kalau saja Dia (Allah) tertidur, pastilah langit dan bumi tidak akan terkendali masing-masing (yakni berbenturan).

            Riwayat ini munkar.  Telah dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (jilid V/5780), telah memberitakan kepada kami Hisyam bin Yusuf dari Umayyah binSyibl dari Al-Hakam bin Aban dari Ikrimah dari Abu Hurairah, ia berkata, “aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wassallam mengisahkan tentang Musa alaihissallam dari atas mimbar, seraya bersabda … kemudian menyebutkannya.”
            Ibnu Asakir telah mengeluarkan dalam Tarikh Dimasyqi (II/17/190) dari Ishaq seraya berkata, “Telah ditelusuri oleh Yahya bin Mu’in dari Hisyam, dan diriwayatkan pula oleh Muammar dari Al-Hakam seraya menjadikannya dari ucapan Ikrimah.”
            Nashiruddin Al-bani mengenai hadits ini berkata menurut saya, penyakit yang ada Al-Hakam bin Aban. Dia adalah al-Adani yang oleh jamaah di antaranya Ibnu Mu’in dipercayai, namun Ibnu Mubarak menegaskan, “kesampinglah dia bersama periwayatannya”. Ibnu Hibban telah menyebutkannya dalam deretan ats-tsiqah (perawi-perawi yang dapat dipercaya) sambil berkata, “Barangkali ia melakukan kesalahan”. Adapun Al-Hafizh dalam At-Taqrib menyebutkan demikian, “Orang ini benar, ahli ibadah, tetapi mempunyai banyak periwayatan yang tidak rasional (khayali).”
            Masih menurut  Nashiruddin Al-Bani, beliau berkata saya berpendapat, barang kali dari sejumlah pernyataan para ulama ahli hadits tentangnya ada terangkum dalam apa yang dikemukakan oleh Al-Hafizh, yaitu “Ia dapat dipercaya, akan tetapi sering melakukan kesalahan disebabkan buruknya daya ingat hafalannya”. Bahkan, boleh jadi karena banyaknya ibadah yang dilakukannya hingga berlebihan (ghuluw), sebagaimana umumnya yang terjadi pada para pelaku ibadah yang berlebihan. Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan (I/2/113) dengan sanad yang shahih dari Ibnu Uyainah, ia berkata, “Telah datang kepada kami Yusuf bin Ya’qub, seorang hakim penduduk Yaman yang dikenal baik, lalu kami tanyakan padanya tentang Al-Hakam bin Aban, maka di jawabnya,’Dia penghulu penduduk Yaman, gemar melakukan shalat malam. Apabila ia merasa kantuk, ia segera pergi kepantai lalu berdiri diatas air, bertasbih bersama binatang laut’ ”.
            Nashiruddin Al-Bani melanjutkan saya berpendapat, peribadahan seperti itulah yang cenderung dikatakan berlebihan, sangat tepat bagi pelakunya untuk tidak menjaga ingatannya meski Allah anugerahkan untuk dimanfaatkan, diantaranya untuk menjaga ketepatan periwayatan hadits dan menghafalnya.
                                                                                      
                                                                                       (Nashiruddin Al-Bani: 1999)          




BAB 4
PENUTUP

4.1       Kesimpulan
1.      Kata syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”. Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya”. Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
2.      Munkar menurut bahasa adalah isim maf’ul dari kata al-inkaar, lawan dari kata al-iqraar. Pertama : yaitu sebuah hadits dengan perawi tunggal yang banyak kesalahan atau kelalaiannya, atau nampak kefasiqannya atau lemah ke-tsiqahannya. Kedua : yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah dan bertentangan dengan riwayat perawi yang tsiqah. Hadits munkar yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if (lemah) yang berbeda dengan perawi-perawi  (lain) yang tsiqat. Oleh karena itu, kriteria hadits munkar adalah penyendirian perawi dha’if dan mukhalafah.
3.   Syadz adalah hadits yang diriwayatkan perawi yang maqbul yang bertentangan hadits yang diriwayatkan perawi yang lebih utama darinya. Munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi dha’if yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah.

4.2       Saran
            Tahap   kedha`ifan   hadis   berbeda  mengikut   tahap   berat   dan   ringan   kelemahan   para perawi  sebagaimana hadis sahih berbeda-beda.  Antaranya  dha`if,  dha`if   jiddan,  wahi,  munkar dan yang paling jelek ialah maudhu`. Dalam makalah ini hanya membahas tentang hadits Syadz dan Munkar, oleh sebab itu diharapkan adala penulisan yang membahas secara rinci tentang hadits dha’if.

No comments:

Post a Comment