Sunday 8 January 2012

Perjalanan Gunung Tembak 2 (Ponpes Hidayatullah)


Malam ini malam minggu tepatnya tanggal  7 januari 2012 jam 21:29 WITA di salah satu rumah kawan saya di Gunung Tembak, sesuai janji saya pada tulisan Perjalanan ke Gunung Tembak (Hidayatullah) saya akan menyambung cerita perjalanan saya ke gunung tembak ( Ponpes Hidayatullah).
Sebelumnya awali dengan bismillah
Setelah saya sampai di Hidayatullah, saya menghampiri keamanan, untuk meminta ijin masuk karena memang peraturan disana tamu wajib lapor, karena saya merasa tamu jadi saya harus lapor.
“Assalamualaikum,
Pak mau bertemu, pak Miat” lapor saya
“sudah hubungi orangnya” tanya keamanan disana (beliau tak menjawab salam saya mungkin karena tidak mendengar atau bisa jadi beliau balas salam saya tetapi saya tak mendengar”
“sudah pak, katanya beliau ada disini”
“yup silahkan masuk”
ku susuri jalan kerumah kawan ku, sudah beberapa tahun ku tak bertemu beliau, dan itu artinya sudah beberapa tahun juga ku tak kerumahnya, singkatnya ku lupa rumah beliau. Karena bingung yang mana rumah beliau akhirnya ku ambil ponsel dan ku kirim sms kepada beliau.
“ kak, dimana, ana dah ditempat nih?”
Tak lama kemudian beliau membalas sms saya
“ ana masih di Gunung Binjai, tunggu ja dulu, ntar lagi ana pulang”
Ku putar balik motor menuju pos keamanan, dan kusapa beliau yang sedang mendengar tauziah Ustadz Das’ad Latif lewat media komunikasi (Handphone).
“ Pak Miatnya ternyata keluar pak, katanya ke gunung binjai, boleh saya parkir motor disini (motorku saat itu tepat disamping pos)”
“silahkan” balas beliau
Kemudian penjaga keamanan mempersilahkan ku duduk di posnya, Sambil menunggu kawanku ku mengirim pesan lagi
“kak, kapan pulang?”
Agak lama kemudian beliau menjawab “ tunggu ja di masjid, ntar ana kesana”
Lalu saya balas “kak saya mau ganti baju buat shalat magrib nih, dimana?”
Beberapa menit sebelum magrib, kawanku keluar dari sebuah pick up, kemudian kuhampiri beliau seraya mengucapkan salam, setelah itu ku di ajak kerumahnya untuk membersihkan diri.
Sesampai dirumah kutunjukkan kepada kawanku ini berkas untuk mendaftar kuliah di STIS Hidayatullah, kami terlibat pembicaraan ringan dan beliau menawariku untuk membersihkan diri. Setelah membersihkan diri , kami berangkat kemasjid, waktu itu ku mengenakan koko warna abu-abu gelap dengan garis vertikal berwarna hitam serta les merah diujung kedua lengan dan mengenakan celana gantung berwarna putih tanpa kopiah, sedangkan kawanku ini memakai baju koko berwarna putih memakai sarung dan menggunakan kopiah di kepalanya sambil menggendong tas yang ku taksir isinya Al-Quran. Kami berangkat ke masjid Ar-Riyadh (masjid di Ponpes Hidayatullah) menggunakan motor ku, ku parkirkan motor sama seperti pada saat ku menunggu kawanku ini, dan menghampiri tempat wudhu yang tak jauh dari tempat ku memarkirkan motor.
Setelah wudhu, kami masuk kedalam masjid, kemudian shalat sunnah Qabliyah magrib (hukumnya Ghairu Muakkad) dua rakaat,
“assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum warohmatullah” bisik ku mengakhiri shalat.
Ku melihat sekeliling masjid yang cukup besar, ku perhatikan jamaah masjid yang sedang duduk berdzikir dan tilawah yang menunggu shalat magrib, kurasakan ada yang berbeda antara diriku dan mereka, setelah kuamati benar-benar, ternyata hanya aku seorang yang memakai baju abu-abu gelap yang artinya non putih, sedangkan mereka memakai baju “taqwa” berwarna putih. Ku baru ingat beberapa tahun silam ketika pertama kali ku menginjakkan kaki ke sini, kawanku miat pernah kutanya “kenapa semuanya kok pakai baju putih?”
“ itu peraturan disini katanya, tapi kalau ga tau ya ga papa terlebih anta tamu” jawabnya berberapa tahun silam
Tapi bagiku tetap saja tidak enak menjadi sorotan, yang lain putih sedangkan ku abu-abu, jadi teringat iklan waktu Ramadhan, yang iklannya kurang lebih seperti ini. Masyarakat yang mendirikan shalat semua memakai baju putih, Cuma satu orang saja yang memakai baju hitam, tapi ketika mereka sujud hanya yang baju hitam yang sujudnya agak lama (padahal setau ana kita harus ikut imam, imam bangkit dari sujud ya kita bangkit) dan diakhir iklan tersebut kurang lebih “ yang penting hatinya”.


Bada Magrib
Bada magrib, kami berdzikir sendiri-sendiri, kemudian menunaikan shalat sunnah ba’diyah magrib. Petugas masjid berdiri dibelakang podium seraya mengingatkan bahwa bada shalat magrib akan ada tauziah rutin, kemudian menyuruh kami merapat. Sebelum mengumumkan siapa yang akan bertugas tauziah, petugas mengingatkan tentang peraturan baju putih dan kopiah, “kena deh” bisikku dalam hati.
“ kamu dari mana” tanya bapak disamping ku
“ dari samarinda pak”
“ohhh, kalau tamu ya ga papa pakai baju selai putih” kira-kira seperti itu jawabnya
“alhamdulillah ALLAH menenangkan hatiku melalui bapak ini” bisikku dalam hati
“pada malam ini yang bertugas tauziah adalah bapak Abdul Qadir Jailani” kata petugas masjid, sebelumnya petugas masjid ini ada berdialog pelan kepada seseorang yang memberikan isyarat kalau yang mengisi malam ini adalah bapak yang ada disamping ku.
Bapak yang tadi sempat menenangkan aku berdiri menghampiri sebuah podium kecil dan duduk dikursi lipat, ternyata bapak inilah yang bernama Abdul Qadir Jailani salah seorang “santri modal (“ kata pendiri ponpes Alm. Abdullah Said dalam buku Mencetak Sang Kader yang ditulis oleh Alm. Mansur Salbu”).
“Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh” buka beliau
Kemudian beliau memulai tauziahnya, yang inti dari tauziahnya mengajak kami agar kembali melaksakan shalat lail yang dulu sempat membudaya. Yang membuat ku tertegun dari kata-kata beliau adalah “jangan ngaku mujahid, kalau tidak mau shalat lail “ jika ku mau tarik kesimpulan “jangan ngaku-ngaku dai, murobbi, aktivis kalau tidak mau shalat lail”. Benar juga bisikku dalam hati jika kita mau melihat Rasul dan para sahabat-sahabatnya mereka dikatakan oleh musuh “siang hari seperti singa, malam hari seperti rahib” oleh sebab itulah ALLAH memenangkan peperangan-peperangan yang jumlah kuantitasnya amat tidak sebanding, mereka memang sedikit tapi kualitasnya terjamin, yup karena kekuatan ruhiyah dan mereka dekat dengan ALLAH. Sekarang bagaimana dengan kita yang ngaku-ngaku aktivis, dai, murobbi jika ada jadwal Pertandingan dua club besar pada saat tengah malam kita dapat terjaga sedangkan untuk Qiyamul Lail tidak. Bahkan terkadang shalat subuh sering masbuk atau munfaridan di rumah. Saudaraku coba kita tengok sejarah,  Rasulullah shalat malam sampai bengkak kakinya, padahal Rasulullah dijamin ALLAH masuk surga.
Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdiri (sholat pada waktu malam)
sehingga kedua kaki beliau bengkak. Maka beliau ditanya; Bukankah Allah
telah mengampunimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Beliau
menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sukron, ila liqo Wassallamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Akhiri dengan Alhamdulillah dan jangan lupa komentarnya

3 comments:

  1. Assalamualaikum Mas Fathan'salam silaturrahmi aja,dari saya diKampus Peradaban ^_^
    Salam baliknya diBlogku

    ReplyDelete
  2. Assalaamu'alaikum ??? Saya bisa datang ke sana nggak kira"....Kara saya ingin sekali masuk pesantren...
    Umurku sudah tua...dan saya seneng sekali bepergian, kiranya pergi kesebuah pesantren akan menjadikan hidupku lebih bermakna..:)

    ReplyDelete
  3. Datang aja mba ke pesantren hidayatullah...bilang aja mau belajar ....syukron

    ReplyDelete