Malam ini malam minggu tepatnya
tanggal 7 januari 2012 jam 21:29 WITA di
salah satu rumah kawan saya di Gunung Tembak, sesuai janji saya pada tulisan
Perjalanan ke Gunung Tembak (Hidayatullah) saya akan menyambung cerita
perjalanan saya ke gunung tembak ( Ponpes Hidayatullah).
Setelah saya sampai di
Hidayatullah, saya menghampiri keamanan, untuk meminta ijin masuk karena memang
peraturan disana tamu wajib lapor, karena saya merasa tamu jadi saya harus
lapor.
“Assalamualaikum,
Pak mau bertemu, pak Miat” lapor
saya
“sudah hubungi orangnya” tanya
keamanan disana (beliau tak menjawab salam saya mungkin karena tidak mendengar
atau bisa jadi beliau balas salam saya tetapi saya tak mendengar”
“sudah pak, katanya beliau ada
disini”
“yup silahkan masuk”
ku susuri jalan kerumah kawan ku,
sudah beberapa tahun ku tak bertemu beliau, dan itu artinya sudah beberapa
tahun juga ku tak kerumahnya, singkatnya ku lupa rumah beliau. Karena bingung
yang mana rumah beliau akhirnya ku ambil ponsel dan ku kirim sms kepada beliau.
“ kak, dimana, ana dah ditempat
nih?”
Tak lama kemudian beliau membalas
sms saya
“ ana masih di Gunung Binjai,
tunggu ja dulu, ntar lagi ana pulang”
Ku putar balik motor menuju pos
keamanan, dan kusapa beliau yang sedang mendengar tauziah Ustadz Das’ad Latif
lewat media komunikasi (Handphone).
“ Pak Miatnya ternyata keluar
pak, katanya ke gunung binjai, boleh saya parkir motor disini (motorku saat itu
tepat disamping pos)”
“silahkan” balas beliau
Kemudian penjaga keamanan
mempersilahkan ku duduk di posnya, Sambil menunggu kawanku ku mengirim pesan
lagi
“kak, kapan pulang?”
Agak lama kemudian beliau
menjawab “ tunggu ja di masjid, ntar ana kesana”
Lalu saya balas “kak saya mau
ganti baju buat shalat magrib nih, dimana?”
Beberapa menit sebelum magrib,
kawanku keluar dari sebuah pick up, kemudian kuhampiri beliau seraya
mengucapkan salam, setelah itu ku di ajak kerumahnya untuk membersihkan diri.
Sesampai dirumah kutunjukkan
kepada kawanku ini berkas untuk mendaftar kuliah di STIS Hidayatullah, kami
terlibat pembicaraan ringan dan beliau menawariku untuk membersihkan diri. Setelah
membersihkan diri , kami berangkat kemasjid, waktu itu ku mengenakan koko warna
abu-abu gelap dengan garis vertikal berwarna hitam serta les merah diujung
kedua lengan dan mengenakan celana gantung berwarna putih tanpa kopiah,
sedangkan kawanku ini memakai baju koko berwarna putih memakai sarung dan
menggunakan kopiah di kepalanya sambil menggendong tas yang ku taksir isinya
Al-Quran. Kami berangkat ke masjid Ar-Riyadh (masjid di Ponpes Hidayatullah)
menggunakan motor ku, ku parkirkan motor sama seperti pada saat ku menunggu
kawanku ini, dan menghampiri tempat wudhu yang tak jauh dari tempat ku
memarkirkan motor.
Setelah wudhu, kami masuk kedalam
masjid, kemudian shalat sunnah Qabliyah magrib (hukumnya Ghairu Muakkad) dua
rakaat,
“assalamualaikum warohmatullah, assalamualaikum
warohmatullah” bisik ku mengakhiri shalat.
Ku melihat sekeliling masjid yang
cukup besar, ku perhatikan jamaah masjid yang sedang duduk berdzikir dan tilawah
yang menunggu shalat magrib, kurasakan ada yang berbeda antara diriku dan
mereka, setelah kuamati benar-benar, ternyata hanya aku seorang yang memakai
baju abu-abu gelap yang artinya non putih, sedangkan mereka memakai baju “taqwa”
berwarna putih. Ku baru ingat beberapa tahun silam ketika pertama kali ku
menginjakkan kaki ke sini, kawanku miat pernah kutanya “kenapa semuanya kok
pakai baju putih?”
“ itu peraturan disini katanya,
tapi kalau ga tau ya ga papa terlebih anta tamu” jawabnya berberapa tahun silam
Tapi bagiku tetap saja tidak enak
menjadi sorotan, yang lain putih sedangkan ku abu-abu, jadi teringat iklan
waktu Ramadhan, yang iklannya kurang lebih seperti ini. Masyarakat yang mendirikan
shalat semua memakai baju putih, Cuma satu orang saja yang memakai baju hitam,
tapi ketika mereka sujud hanya yang baju hitam yang sujudnya agak lama (padahal
setau ana kita harus ikut imam, imam bangkit dari sujud ya kita bangkit) dan
diakhir iklan tersebut kurang lebih “ yang penting hatinya”.
Bada Magrib
Bada magrib, kami berdzikir
sendiri-sendiri, kemudian menunaikan shalat sunnah ba’diyah magrib. Petugas
masjid berdiri dibelakang podium seraya mengingatkan bahwa bada shalat magrib
akan ada tauziah rutin, kemudian menyuruh kami merapat. Sebelum mengumumkan
siapa yang akan bertugas tauziah, petugas mengingatkan tentang peraturan baju
putih dan kopiah, “kena deh” bisikku dalam hati.
“ kamu dari mana” tanya bapak
disamping ku
“ dari samarinda pak”
“alhamdulillah ALLAH menenangkan
hatiku melalui bapak ini” bisikku dalam hati
“pada malam ini yang bertugas
tauziah adalah bapak Abdul Qadir Jailani” kata petugas masjid, sebelumnya
petugas masjid ini ada berdialog pelan kepada seseorang yang memberikan isyarat
kalau yang mengisi malam ini adalah bapak yang ada disamping ku.
Bapak yang tadi sempat
menenangkan aku berdiri menghampiri sebuah podium kecil dan duduk dikursi
lipat, ternyata bapak inilah yang bernama Abdul Qadir Jailani salah seorang “santri
modal (“ kata pendiri ponpes Alm. Abdullah Said dalam buku Mencetak Sang Kader
yang ditulis oleh Alm. Mansur Salbu”).
“Assalamualaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh” buka beliau
Kemudian beliau memulai
tauziahnya, yang inti dari tauziahnya mengajak kami agar kembali melaksakan
shalat lail yang dulu sempat membudaya. Yang membuat ku tertegun dari kata-kata
beliau adalah “jangan ngaku mujahid, kalau tidak mau shalat lail “ jika ku mau
tarik kesimpulan “jangan ngaku-ngaku dai, murobbi, aktivis kalau tidak mau
shalat lail”. Benar juga bisikku dalam hati jika kita mau melihat Rasul dan
para sahabat-sahabatnya mereka dikatakan oleh musuh “siang hari seperti singa,
malam hari seperti rahib” oleh sebab itulah ALLAH memenangkan
peperangan-peperangan yang jumlah kuantitasnya amat tidak sebanding, mereka
memang sedikit tapi kualitasnya terjamin, yup karena kekuatan ruhiyah dan
mereka dekat dengan ALLAH. Sekarang bagaimana dengan kita yang ngaku-ngaku
aktivis, dai, murobbi jika ada jadwal Pertandingan dua club besar pada saat tengah
malam kita dapat terjaga sedangkan untuk Qiyamul Lail tidak. Bahkan terkadang
shalat subuh sering masbuk atau munfaridan di rumah. Saudaraku coba kita tengok
sejarah, Rasulullah shalat malam sampai
bengkak kakinya, padahal Rasulullah dijamin ALLAH masuk surga.
Al-Mughirah
bin Syu’bah Radhiallahu’anhu berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdiri (sholat pada waktu malam)
sehingga kedua kaki beliau bengkak. Maka beliau ditanya; Bukankah Allah
telah mengampunimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Beliau
menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur”
(HR. Bukhari dan Muslim).
“Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam berdiri (sholat pada waktu malam)
sehingga kedua kaki beliau bengkak. Maka beliau ditanya; Bukankah Allah
telah mengampunimu dosa yang telah lalu dan yang akan datang? Beliau
menjawab: Apakah tidak sepatutnya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Sukron, ila liqo Wassallamualaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh
Akhiri dengan Alhamdulillah dan jangan lupa
komentarnya
Assalamualaikum Mas Fathan'salam silaturrahmi aja,dari saya diKampus Peradaban ^_^
ReplyDeleteSalam baliknya diBlogku
Assalaamu'alaikum ??? Saya bisa datang ke sana nggak kira"....Kara saya ingin sekali masuk pesantren...
ReplyDeleteUmurku sudah tua...dan saya seneng sekali bepergian, kiranya pergi kesebuah pesantren akan menjadikan hidupku lebih bermakna..:)
Datang aja mba ke pesantren hidayatullah...bilang aja mau belajar ....syukron
ReplyDelete